A. PENDAHULUAN
Jika kita berbicara filsafat, kita
seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan
cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan
hukum di Indonesia. Sekedar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam menilai
hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena
putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia
secara langsung, juga berhubungan dengan Allah SWT, maka manusia disamping ia
mengadopsi hukumhukum yang langsung (baca ; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan
yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula
kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, yaitu suatu hukum yang
akan mengatur perjalanan masyarakat, dan hukum tersebut haruslah digali tentang
filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang
nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
1. Apakah sebenarnya hakikat
filsafat hukum ?
2. Apa manfaat mempelajari filsafat
hukum?
3. Apa perbedaaan fisafat hukum Islam
dengan filsafat hukum lainnya?
C. PEMBAHASAN
1.Definisi Filsafat
Manusia memiliki sifat ingin tahu
terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut
pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) ,yaitu pengetahuan indera,
pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat,dan pengetahuan agama.Istilah
“pengetahuan” (knowledge) tidak sama
dengan “ilmu pengetahuan”(science). Pengetahuan
seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari
orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan
sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.
Adanya perkembangan ilmu yang banyak
dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat dijawab oleh sebab itu
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan
filsafat. Filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu[1],
mengenai itu bahwa pertanyaan yang diajukan oleh ilmu (yang khusus)[2]
itu mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh filsafat.itu menegaskan bahwa
jawaban –jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi.[3]
Oleh karena itu filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah hal ini
disebabkan masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan
karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan
berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah –masalah lama manusia.[4]
Filasafat tidak menyelidiki salah
satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa – apa yang menarik perhatian
manusia angapan ini diperkuat bahwa sejak abad ke 20 filsafat masih sibuk
dengan masalah-masalah yang sama seperti yang sudah dipersoalkan 2.500 tahun
yang lalu yang justru membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada “metodenya
sendiri”.Perbedaan filsafat dengan ilmu-ilmu yang lain adalah ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang
tertentu dari kenyataan, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis,
sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan..Kesimpulan dari perbedaan
tersebut adalah filsafat tersebut adalah ilmu tanpa batas karena memiliki
syarat-syarat sesuai dengan ilmu.Filsafat juga bisa dipandang sebagai pandangan
hidup manusia sehingga ada filsafat sebagai pandangan hidup atau disebut dengan
istilah way of life, Weltanschauung, Wereldbeschouwing, Wereld-en
levenbeschouwing yaitu sebagai petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia
dalam segala bidang kehidupanya dan filsafat juga sebagai ilmu dengan definisi
seperti yang dijelaskan diatas.
Syarat-syarat filsafat sebagai ilmu
adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh
kenyataan yang menyeluruh dan universal, dan sebagai petunjuk arah kegiatan
manusia dalam seluruh bidang kehidupannya.Penelahaan secara mendalam pada
filsafat akan membuat filsafat memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif itu semua berarti bahwa filsafat melihat
segala sesuatu persoalan dianalisis secara mendasar sampai keakar-akarnya.Ciri
lain yang penting untuk ditambahkan adalah sifat refleksif krisis dari filsafat
Terdapat kecenderungan bahwa
bidang-bidang filsafat itu semakin bertambah, sekaipun bidang-bidang telaah
yang dimaksud belum memiliki kerangka analisis yang lengkap, sehingga belum
dalam disebut sebagai cabang.Dalam demikian bidang-bidang demikian lebih tepat
disebut sebagai masalah-masalah filsafat.Dari pembagian cabang filsafat dapat
dilihat dari pembagian yang dilakukan oleh Kattsoff yang membagi menjadi 13
cabang filsafat. Seperti kita ketahui bahwa hukum berkaitan erat dengan
norma-norma untuk mengatur perilaku manusia.Maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau
filsafat tingkah laku. Karena filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum
secara filosofis.Maka obyek filsafat hukum adalah hukum.Definisi tentang hukum
itu sendiri itu amat luas oleh Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto keluasan arti hukum tersebut disebutkan
dengan meyebutkan sembilan arti hukum.[5]Dengan
demikian jika kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus
dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum
itu.Hukum itu juga dipandang sebagai norma yang mengandung nilai-nilai
tertentu.Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai normaNorma adalah
pedoman manusia dalam bertingkah laku.Norma hukum diperlukan untuk melengkapi
norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma hukum
dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena
pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.
2 . Manfaat Mempelajari Filsafat
Hukum
Dari tiga sifat yang membedakannya
dengan ilmu-ilmu lain manfaat filsafat hukum dapat dilihat.Filsafat memiliki
karakteristik menyeluruh/Holistik dengan cara itu setiap orang dianggap untuk
menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Disamping itu juga
memacu untuk berpikir kritis dan radikal atas sikap atau pendapat orang lain.
Sehingga siketahui bahwa manfaat mempelajari filsafat hukum adalah kreatif,
menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan
baru. Disiplin hukum, oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali, di artikan
sebagai teori hukum namun dalam artian luas, yang mencakup politik hukum,
filsafat hukum, dan teori hukum dalam arti sempit atau ilmu hukum.
Dari
pembidangan tersebut, filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu
hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian
tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya.
Satjipto Raharjo menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari
usaha mempelajari hukum positif,[6]
setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan
kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum memang berbicara tentang banyak
hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, atau
kombinasi dari ketigabidang tersebut. Karena itu, teori hukum dapat saja
membicarakan sesuatu yang bersifat universal, dan tidak menutup kemungkinan
membicarakan mengenai hal-hal yang sangat khas menurut tempat dan waktu
tertentu.
3 . Perbedaan Filsafat Hukum Islam
dengan Filsafat Hukum Lain
Adapun perbedaan pendekatan filsafat dalam Hukum Islam
dengan filsafat hukum pada umumnya terletak pada perbedaan substansi hukum itu
sendiri. Hukum Islam merupakan hukum wahyu, sedangkan hukum pada umumnya adalah
hasil pemikiran manusia semata.
Hukum Islam merupakan hukum yang berangkat, berjalan dan
berakhir pada tujuan wahyu. Ia ada dan memiliki kekuatan berdasarkan wahyu. Ia
memberikan perintah dan larangan berdasarkan wahyu. Dengan demikian, apa yang
dianggap benar adalah apa yang dianggap benar oleh wahyu. Apa yang dianggap
keliru, adalah apa yang disalahkan oleh wahyu. Adapun akal adalah sarana
pendukung untuk memahami atau memikirkan operasional hukum.
Ketika hukum Islam menyatakan bahwa babi adalah haram, alasannya adalah karena al-Qur’an sebagai himpunan wahyu melarangnya. Demikian pula ketika Islam menyatakan bahwa perzinahan itu haram, alasannya karena al-Qur’an melarangnya. Babi dan perzinahan adalah haram kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun menurut hukum Islam, meskipun secara akal babi dan perzinahan sebenarnya bisa mendatangkan keuntungan yang banyak bagi manusia.
Sedangkan hukum pada umumnya (hukum non-Islam) adalah hasil pemikiran manusia semata. Karena ia merupakan hasil manusia, sementara hasil pemikiran manusia bisa terpengaruh oleh zaman dan makan, maka hukum tersebut juga bisa berbeda-beda bagi manusia yang hidup di daerah dan waktu yang berbeda.
Ketika hukum Islam menyatakan bahwa babi adalah haram, alasannya adalah karena al-Qur’an sebagai himpunan wahyu melarangnya. Demikian pula ketika Islam menyatakan bahwa perzinahan itu haram, alasannya karena al-Qur’an melarangnya. Babi dan perzinahan adalah haram kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun menurut hukum Islam, meskipun secara akal babi dan perzinahan sebenarnya bisa mendatangkan keuntungan yang banyak bagi manusia.
Sedangkan hukum pada umumnya (hukum non-Islam) adalah hasil pemikiran manusia semata. Karena ia merupakan hasil manusia, sementara hasil pemikiran manusia bisa terpengaruh oleh zaman dan makan, maka hukum tersebut juga bisa berbeda-beda bagi manusia yang hidup di daerah dan waktu yang berbeda.
Ketika dahulu hubungan sesama jenis (homoseksual) dianggap
sesuatu yang salah dan melanggar batas kewajaran, maka perbuatan itu dilarang
(diharamkan) dan pelakunya memperoleh hukuman. Namun ketika sekarang perbuatan
itu dianggap sesuatu yang wajar –karena sudah banyak orang melakukannya secara
terang-terangan bahkan menjadi kebanggaan- dan bisa dibenarkan, maka ia tidak lagi
dilarang. Justru sebaliknya, orang yang menentang perbuatan itu dianggap telah
melanggar hak asasi orang lain yang ingin atau gemar melakukannya.
Yang amat menarik –entah karena benar-benar hasil pemikiran
murni atau iming-iming duniawi- sekarang ada sebagian orang Islam yang
mengatasnamakan kebebasan berpikir, memberanikan diri secara bersama-sama untuk
menghalalkan perilaku homoseksual. Anehnya, mereka mendukung perilaku tersebut
dengan mencoba mengotak-atik wahyu dengan logika mereka. Dengan demikian, mereka
bukan lagi menggunakan akal sebagai sarana untuk memahami wahyu. Mereka
menggunakan akal untuk “mengakali” wahyu. Namun untuk hal ini penulis
mencukupkan diri sampai di sini. Karena sebenarnya orang-orang seperti itu
bukanlah para ahli hukum Islam yang sebenarnya. Tidak lain mereka adalah para
pemulung besi tua yang hendak membuat pesawat tempur anti radar (semacam B-12)
atau yang semisalnya. Tentu saja usaha mereka hanya akan menjadi bahan
tertawaan orang lain, apalagi para pakar di bidangnya.
Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang
rahasia-rahasia, makna, hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu
fiqh. Sehingga kita melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan
pengertian dan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini
akan tercapai ketaatan dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan hukum.
Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan
mempelajari Filsafat Hukum Islam, akan semakin memahami di mana letak
ketinggian dan keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang
mendalam kepada Sumber Tertinggi Hukum yaitu Allah Swt., kepada sesama manusia,
kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup. Dengan demikian, tujuan
mempelajari Filsafat Hukum Islam akan memantapkan keyakinan umat Islam akan
keagungan Hukum Islam dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain (hukum produk
manusia). Dimana hukum Islam bisa dibuktikan bukan hanya lebih benar dan
unggul, namun juga lebih terhormat dan beradab dibandingkan dengan hukum-hukum
yang lain Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir
tanpa “paksaan”. Umat Islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena
rasa cinta, karena ia berasal dari Tuhan Maha Adil dan Welas Asih. Ia taat
kepada hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan
kepada makhluk-Nya.
D. PENUTUP
Filsafat Hukum Islam ialah filsafat
yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan obyeknya
tertentu, yaitu hukum Islam. Maka, filsafat hukum Islam adalah filsafat yang
menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan
keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan
filsafat sebagai alatnya. Dari beberapa definisi di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa Filsafat Hukum Islam memiliki beberapa unsur, yang pertama,
Filsafat Hukum Islam merupakan hasil pemikiran manusia. Dengan kata lain, ia
berangkat dari akal pikiran manusia. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara
Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Shari‘ah Metodologis seperti Usul al-Fiqh
dan al-Qawa‘id al-Fiqhiyah. Dimana kedua ilmu yang disebut terakhir ini
berangkat dari wahyu.sedangkan yang Kedua, seluruh kajian dalam Filsafat Hukum
Islam tidak pernah meragukan substansi hukum yang telah ditetapkan oleh Hukum
Islam. Secara lebih gamblang, hal ini dibahas dalam salah satu kajian Filsafat
Hukum Islam, yaitu mengenai hakekat hukum Islam sebagai Hukum Tuhan yang sudah
tentu memenuhi tujuan-tujuan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Sunny, Isma’il, Tradisi dan Inovasi Keislamart di IndonesIa
dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga
Rampai Peradilan Islam di Indonesia,
Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997),
Radhie, Teuku Mohammad, ‚Politik
dan Pembaharuan Hukum, dalam Prisma
No. 6 tahun II (Jakarta: LP3ES, 1973)
Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Bandung
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,1986,
Perihal kaedah hukum.
F.
Magnis Suseno,1992, FILSAFAT KEBUDAYAAN POLITIK: Butir-Butir Pemikiran Kritis,
Jakarta Gramedia
Harry Hamersma,1992,Tokoh-Tokoh
Filsafat Hukum Modern, Jakarta: Gramedia
[1] Harry Hamersma,1992,Tokoh-Tokoh
Filsafat Hukum Modern, Jakarta: Gramedia, Hal . 13
[2] Ibid, hal. 09
[3] F. Magnis Suseno,1992,
FILSAFAT KEBUDAYAAN POLITIK: Butir-Butir Pemikiran Kritis, Jakarta Gramedia. Hlm. 20
[4] Loc cit
[5] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,1986, Perihal kaedah hukum. Halaman 2-4
[6] Satjipto Rahardjo,
1986, Hukum dan Masyarakat, Bandung Hlm. 225
0 comments:
Post a Comment