Tuesday 8 December 2015

Pelanggaran Zebra Cross ditinjau dari Teori Kepatuhan Dan Kesadaran Hukum Mengenai “Law enforcement”

Lampu lalu lintas dan zebra cross sering ditemukan di tempat yang sama. Di mana ada lampu lalu lintas, biasanya ada pula zebra cross. Keduanya terlihat sangat mesra. yang satu  menjulang  vertikal secara gagah, yang lain rebah horizontal secara rendah hati. Banyak orang yang sudah akrab dengan kondisi ini dan tidak mempertanyakan lagi kedekatan mereka. Namun sadarkah kita, bahwa keduanya tidak sepenuhnya berjodoh. Jika kita lihat fungsi dari kedua sarana lalu lintas ini, Lampu lalu lintas berfungsi mengatur berjalan atau berhentinya kendaraan.  Jika lampu itu menyala hijau, maka kendaraan boleh melaju melewati persimpangan. Jika berwarna oranye, maka kendaraan seharusnya bersiap-siap berhenti. Jika lampu itu menyala merah, maka kendaraan seharusnya berhenti. Jadi lampu lalu lintas sedikitnya memiliki tiga jenis fungsi.
 Sementara, zebra cross hanya memiliki satu jenis fungsi, yaitu memberikan prioritas kepada orang yang melaluinya untuk menyeberang dengan selamat. Jadi pengendara mobil, motor, dokar, becak, dan lainnya seharusnya berhenti untuk memberi kesempatan kepada pejalan kaki yang mau menyeberang jalan. Fungsi tunggal ini tentu saja dapat dipadankan dengan fungsi lampu lalu lintas yang menyala merah. Saat kendaraan berhenti dan pejalan kaki menyeberang. Peraturan hukum tentang zebra cross itu sendiri termaktub sesuai Undang-Undang No: 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), pasal 131 Ayat (2), disebutkan bahwa “Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyebrang  jalan di tempat penyebrangan”. Dan pasal  106 Ayat (2), disebutkan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan  kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda”. Kemudian dalam Pasal 284 disebutkan bahwa “ Setiap orang yang mengumudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 Ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Dan dinyatakan dengan tegas pada paragraf 2 (dua) tentag penggunaan dan Perlengkapan Jalan pada pasal 25 dan 26 yang tertulis sebagai berikut:
Pasal 25 : “Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa”:
1.      rambu lalu lintas;
2.      marka jalan;
3.      alat pemberi isyarat lalu lintas;
4.      alat penerangan jalan;
5.      alat pengendali dan pengamanan pengguna jalan;
6.      alat pengawasan dan pengamanan jalan;
7.      fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat; dan
8.      fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.
Dalam pasal 26 : Penyediaan perlengkapan jalan ddiselenggarakan oleh:
1.   Pemerintah untuk jalan Nasional;
2.   Pemerintah Provinsi untuk jalan Provinsi;
3.   Pemerintah Kabupaten/Kota untuk jalan Kabupaten/Kota dan jalan desa; atau
4.   Badan Usaha Jalan Tol untuk jalan Tol.
Dengan berlakunya UU No:22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), setiap penyelenggara Jalan Nasional, Provinsi, Kabupaten,/Kota wajib melaksanakan amanah menyediakan fasilitas untuk Pejalan Kaki yang sesuai dengan Norma, Standar, Pedoman, Kriteria (NSPK) yang berlaku. Namun realitas yang terjadi di kota-kota besar saat ini masih banyak yang melakukan pelanggaran. dimana banyak  pengemudi motor yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Mereka bersikap egois dan tidak memberikan fasilitas untuk pejalan kaki yang akan menyebrang. Selain itu, ketika tidak ada petugas atau polisi, karena paradigma masyarakat saat melihat petugas akan timbul perasaan patuh dikarenakan tidak ingin adanya tilang. Dan juga faktor yang melatar belakangi pelanggaran karena ingin cepat sampai tujuan sehingga mengabaikan hak pejalan kaki pada rambu tersebut[1].  

Kontektualisasi Aturan Hukum
Menurut penulis, kesadaran adalah keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani untuk mengamalkan sesuatu sesuai dengan tuntutan yang terdapat didalamnya. Kesadaran hukum artinya tindakan dan perasaan yang tumbuh dari hati nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia sebagai individu atau masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan yang  terdapat dalam  hukum [2]. Sedangkan  kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang tertulis. Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Friedman menyatakan bahwa orang-orang mentaati hukum disebabkan karena mereka berpikir bahwa bila melampauinya adalah immoral atau illegal, mereka merasa bahwa yang dikatakan itu benar untuk apa yang dilakukan[3].
 Kepatuhan seseorang terhadap hukum seringkali dikaitkan dengan persoalan-persoalan di seputar kesadaran hukum seseorang tersebut. dengan lain perkataan, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Kesadaran hukum pada dasarnya merupakan suatu konsepsi yang abstrak. Satjpto Raharjo memberikan pengertian kesadaran hukum sebagai  kesadaran masyarakat untuk menerima dan menjalankan hukum sesuai dengan rasio pembentukannya. Mertokusumo memberikan pengertian kesadaran hukum sebagai kesadaran tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau  perbuat atau seyogyanya tidak dilakukan atau  perbuat terutama terhadap orang lain[4]. Kedua pengertian itu dirumuskan secara berbeda akan tetapi keduanya melihat pada aspek pelaksanaan atau penggunaanya.
Simposium Nasional dengan teman Kesadaran Hukum Masyarakat dalm Masa Transisi yang dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta pada tahun 1975 dalam kesimpulannya menyatakan bahwa kesadaran hukum itu mencakup tiga hal, yaitu[5]:
1.                                 Pengetahuan terhadap hukum
2.                                 Penghayatan fungsi hukum
3.                                 Ketaatan terhadap hukum
Berdasarkan kesimpulan symposium diatas, memperlihatkan bahwa salah satu unsur dalam proses agar orang sadar hukum adalah adanya pengetahuan terhadap hukum. Kata “sadar” mengandung pengertian “tahu dan memahami”. Dengan demikian mengetahui dan memahami suatu hukum merupakan unsur penting dalam proses pentaatan terhadap hukum tersebut. kesadaran hukum merupakan hasil dari serangkaian proses hubungan yang saling berkaitan antara ketiga unsur tadi. Orang harus mengetahui hukum, kemudian memahami hukum, dan akhirnya mentaati hukum tersebut.
Pengetahuan terhadap hukum merupakan unsur atau proses awal yang penting agar timbul kesadaran masyarakat terhadap hukum. Pengetahuan terhadap hukum tidak berarti hanya sekedar tahu terhadap hukum tersebut, tetapi mengetahui apa saja yang diatur, apa yang dilarang, dan apa yang seharusnya dilakukan menurut hukum tersebut. tanpa adanya pengetahuan mengenai hukum, adalah sulit mengharapkan orang untuk memahami fungsi hukum dan juga sulit mengharapkan orang untuk mentaati hukum tersebut, dan pada akhirnya adalah sulit mewujudkan kesadaran masyarakat terhadap hukum. Akan tetapi pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum belum tentu menjamin timbulnya kesadaran masyarakat terhadap hukum apabila hukum tersebut tidak dipatuhi atau ditaati oleh warga masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, ada empat indikator yang membentuk kesadaran hukum yang secara berurutan yaitu[6]:
1.        Pengetahuan tentang peraturan
Dalam hal ini, merupakan pengetahuan seseorang berkenaan dengan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis, yaitu tentang apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.
2.        Pemahaman hukum
Yang dimaksud adalah bahwa sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai isi dari aturan hukum (tertulis), yaitu mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan tersebut.
3.        Sikap hukum
Merupakan suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau keinsafan bahwa hukum tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan hukum.
4.        Pola perilaku hukum
Yang dimaksud adalah tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum dalam masyarakat. Jika berlaku suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya aturan itu dan sejauh mana masyarakat mematuhinya.
Menurut pendapat Achmad Ali yang mengatakan bahwa kesadaran hukum dan ketaatan hukum adalah dua hal yang berbeda, meskipun sangat erat hubungannya namun tidak persis sama. Kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam masyarakat[7]. Banyak hal yang memungkinkan seseorang bisa taat terhadap hukum, jenis-jenis ketaatan hukum yang dikemukakan oleh H.C. Kelman adalah sebagai berikut[8]:
1)      Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu orang menaati hukum karena takut kena hukuman.
2)      Ketaatan yang bersifat identification, yaitu ketaatan pada suatu aturan karena takut hubungan baiknya dengan  seseorang menjadi rusak.
3)      Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu ketaatan pada suatu aturan karena ia benar-benar merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai intrinsik yang dianutnya,
Di dalam realitasnya seseorang dapat menaati hukum hanya karena satu jenis saja, seperti taat karena compliance dan tidak masuk dalam jenis identification dan internalization. Juga dapat terjadi seseorang menaati aturan hukum berdasarkan dua jenis atau bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Bergantung pada situasi dan kondisinya. Selain karena aturan itu cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya juga sekaligus dapat menghindari sanksi dan rusaknya hubungan baik dengan seseorang.(penulis : Fina Nafis Farida)

0 comments:

Post a Comment