Lampu lalu lintas dan zebra cross sering ditemukan di
tempat yang sama. Di mana ada lampu lalu lintas, biasanya ada pula zebra cross.
Keduanya terlihat sangat mesra. yang satu menjulang vertikal secara gagah, yang lain rebah
horizontal secara rendah hati. Banyak orang yang sudah akrab dengan kondisi ini
dan tidak mempertanyakan lagi kedekatan mereka. Namun sadarkah kita, bahwa keduanya
tidak sepenuhnya berjodoh. Jika kita lihat fungsi dari kedua sarana lalu lintas
ini, Lampu lalu lintas berfungsi mengatur berjalan atau berhentinya kendaraan.
Jika lampu itu menyala hijau, maka kendaraan boleh melaju melewati
persimpangan. Jika berwarna oranye, maka kendaraan seharusnya bersiap-siap
berhenti. Jika lampu itu menyala merah, maka kendaraan seharusnya berhenti.
Jadi lampu lalu lintas sedikitnya memiliki tiga jenis fungsi.
Sementara, zebra
cross hanya memiliki satu jenis fungsi, yaitu memberikan prioritas kepada orang
yang melaluinya untuk menyeberang dengan selamat. Jadi pengendara mobil, motor,
dokar, becak, dan lainnya seharusnya berhenti untuk memberi kesempatan kepada
pejalan kaki yang mau menyeberang jalan. Fungsi tunggal ini tentu saja dapat
dipadankan dengan fungsi lampu lalu lintas yang menyala merah. Saat kendaraan
berhenti dan pejalan kaki menyeberang. Peraturan hukum tentang zebra cross itu
sendiri termaktub sesuai Undang-Undang No: 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (LLAJ), pasal 131 Ayat (2), disebutkan bahwa “Pejalan kaki
berhak mendapatkan prioritas pada saat menyebrang jalan di tempat penyebrangan”. Dan pasal 106 Ayat (2), disebutkan bahwa “Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor di
jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda”. Kemudian dalam
Pasal 284 disebutkan bahwa “ Setiap orang yang mengumudikan kendaraan bermotor
dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 Ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Dan dinyatakan dengan tegas pada paragraf 2 (dua) tentag penggunaan dan Perlengkapan
Jalan pada pasal 25 dan 26 yang tertulis sebagai berikut:
Pasal 25 : “Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib
dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa”:
1.
rambu lalu lintas;
2.
marka jalan;
3.
alat pemberi isyarat lalu lintas;
4.
alat penerangan jalan;
5.
alat pengendali dan pengamanan
pengguna jalan;
6.
alat pengawasan dan pengamanan
jalan;
7.
fasilitas untuk sepeda, pejalan
kaki, dan penyandang cacat; dan
8.
fasilitas pendukung kegiatan lalu
lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.
Dalam pasal
26 : Penyediaan perlengkapan jalan ddiselenggarakan oleh:
1.
Pemerintah untuk jalan Nasional;
2.
Pemerintah Provinsi untuk jalan
Provinsi;
3.
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
jalan Kabupaten/Kota dan jalan desa; atau
4.
Badan Usaha Jalan Tol untuk jalan
Tol.
Dengan berlakunya UU No:22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), setiap penyelenggara Jalan Nasional,
Provinsi, Kabupaten,/Kota wajib melaksanakan amanah menyediakan fasilitas untuk
Pejalan Kaki yang sesuai dengan Norma, Standar, Pedoman, Kriteria (NSPK) yang
berlaku. Namun realitas yang terjadi di kota-kota besar saat ini masih banyak
yang melakukan pelanggaran. dimana banyak
pengemudi motor yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Mereka bersikap
egois dan tidak memberikan fasilitas untuk pejalan kaki yang akan menyebrang.
Selain itu, ketika tidak ada petugas atau polisi, karena paradigma masyarakat
saat melihat petugas akan timbul perasaan patuh dikarenakan tidak ingin adanya
tilang. Dan juga faktor yang melatar belakangi pelanggaran karena ingin cepat
sampai tujuan sehingga mengabaikan hak pejalan kaki pada rambu tersebut[1].
Kontektualisasi
Aturan Hukum
Menurut
penulis, kesadaran adalah keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani untuk
mengamalkan sesuatu sesuai dengan tuntutan yang terdapat didalamnya. Kesadaran
hukum artinya tindakan dan perasaan yang tumbuh dari hati nurani dan jiwa yang
terdalam dari manusia sebagai individu atau masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan
yang terdapat dalam hukum [2].
Sedangkan kepatuhan hukum adalah
ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang tertulis. Kepatuhan atau ketaatan
ini didasarkan pada kesadaran. Friedman menyatakan bahwa orang-orang mentaati
hukum disebabkan karena mereka berpikir bahwa bila melampauinya adalah immoral
atau illegal, mereka merasa bahwa yang dikatakan itu benar untuk apa yang
dilakukan[3].
Kepatuhan seseorang terhadap hukum seringkali
dikaitkan dengan persoalan-persoalan di seputar kesadaran hukum seseorang
tersebut. dengan lain perkataan, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah
ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat.
Kesadaran hukum pada dasarnya merupakan suatu konsepsi yang abstrak. Satjpto
Raharjo memberikan pengertian kesadaran hukum sebagai kesadaran masyarakat untuk menerima dan
menjalankan hukum sesuai dengan rasio pembentukannya. Mertokusumo memberikan
pengertian kesadaran hukum sebagai kesadaran tentang apa yang seyogyanya
dilakukan atau perbuat atau seyogyanya
tidak dilakukan atau perbuat terutama
terhadap orang lain[4]. Kedua pengertian itu
dirumuskan secara berbeda akan tetapi keduanya melihat pada aspek pelaksanaan
atau penggunaanya.
Simposium
Nasional dengan teman Kesadaran Hukum Masyarakat dalm Masa Transisi yang
dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta pada tahun
1975 dalam kesimpulannya menyatakan bahwa kesadaran hukum itu mencakup tiga
hal, yaitu[5]:
1.
Pengetahuan terhadap hukum
2.
Penghayatan fungsi hukum
3.
Ketaatan terhadap hukum
Berdasarkan
kesimpulan symposium diatas, memperlihatkan bahwa salah satu unsur dalam proses
agar orang sadar hukum adalah adanya pengetahuan terhadap hukum. Kata “sadar”
mengandung pengertian “tahu dan memahami”. Dengan demikian mengetahui dan memahami
suatu hukum merupakan unsur penting dalam proses pentaatan terhadap hukum
tersebut. kesadaran hukum merupakan hasil dari serangkaian proses hubungan yang
saling berkaitan antara ketiga unsur tadi. Orang harus mengetahui hukum,
kemudian memahami hukum, dan akhirnya mentaati hukum tersebut.
Pengetahuan
terhadap hukum merupakan unsur atau proses awal yang penting agar timbul
kesadaran masyarakat terhadap hukum. Pengetahuan terhadap hukum tidak berarti
hanya sekedar tahu terhadap hukum tersebut, tetapi mengetahui apa saja yang
diatur, apa yang dilarang, dan apa yang seharusnya dilakukan menurut hukum
tersebut. tanpa adanya pengetahuan mengenai hukum, adalah sulit mengharapkan
orang untuk memahami fungsi hukum dan juga sulit mengharapkan orang untuk
mentaati hukum tersebut, dan pada akhirnya adalah sulit mewujudkan kesadaran
masyarakat terhadap hukum. Akan tetapi pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum
belum tentu menjamin timbulnya kesadaran masyarakat terhadap hukum apabila
hukum tersebut tidak dipatuhi atau ditaati oleh warga masyarakat.
Menurut
Soerjono Soekanto, ada empat indikator yang membentuk kesadaran hukum yang
secara berurutan yaitu[6]:
1.
Pengetahuan tentang peraturan
Dalam
hal ini, merupakan pengetahuan seseorang berkenaan dengan perilaku tertentu yang
diatur oleh hukum tertulis, yaitu tentang apa yang dilarang dan apa yang
diperbolehkan.
2.
Pemahaman hukum
Yang
dimaksud adalah bahwa sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai
isi dari aturan hukum (tertulis), yaitu mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari
peraturan tersebut.
3.
Sikap hukum
Merupakan
suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan
atau keinsafan bahwa hukum tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Dalam hal ini sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan
hukum.
4.
Pola perilaku hukum
Yang
dimaksud adalah tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum dalam
masyarakat. Jika berlaku suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya aturan itu
dan sejauh mana masyarakat mematuhinya.
Menurut
pendapat Achmad Ali yang mengatakan bahwa kesadaran hukum dan ketaatan hukum
adalah dua hal yang berbeda, meskipun sangat erat hubungannya namun tidak
persis sama. Kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya
pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam masyarakat[7]. Banyak hal yang memungkinkan seseorang bisa
taat terhadap hukum, jenis-jenis ketaatan hukum yang dikemukakan oleh H.C.
Kelman adalah sebagai berikut[8]:
1)
Ketaatan yang bersifat compliance,
yaitu orang menaati hukum karena takut kena hukuman.
2)
Ketaatan yang bersifat
identification, yaitu ketaatan pada suatu aturan karena takut hubungan baiknya
dengan seseorang menjadi rusak.
3)
Ketaatan yang bersifat
internalization, yaitu ketaatan pada suatu aturan karena ia benar-benar merasa
bahwa aturan itu sesuai dengan nilai intrinsik yang dianutnya,
Di dalam realitasnya seseorang dapat menaati hukum
hanya karena satu jenis saja, seperti taat karena compliance dan tidak masuk
dalam jenis identification dan internalization. Juga dapat terjadi seseorang
menaati aturan hukum berdasarkan dua jenis atau bahkan tiga jenis ketaatan
sekaligus. Bergantung pada situasi dan kondisinya. Selain karena aturan itu
cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya juga sekaligus dapat menghindari
sanksi dan rusaknya hubungan baik dengan seseorang.(penulis : Fina Nafis Farida)